Kamis, 14 April 2011

Volatilitas Komoditas Ancam Ekonomi Global


Headline
rediff.com
Para pemimpin dari BRICs (Brasil, Rusia, India, Cina dan Afrika Selatan) menuturkan, bahwa volatilitas menimbulkan risiko baru untuk pemulihan ekonomi dunia yang tengah berlangsung. Hal ini diungkapkan sebuah komunike dari pertemuan puncak di Sanya, China.
BRICs juga menyerukan kewaspadaan yang lebih besar atas dampak aliran modal dari negara maji ke negara berkembang.
Kenaikan harga pangan dan bahan bakar menekan negara importir seperti China dan India yang terpaksa menahan harga bagi 2,6 miliar penduduk mereka.
Sedangkan negara pengekspor seperti Brazil, Rusia dan Afrika Selatan mendapat keuntungan dari perdagangan, namun ada kekhawatiran bahwa ketergantungan lebih pada sumber daya akan menahan diversifikasi ekonomi, membuat mereka rentan terhadap turunnya permintaan.
China adalah importir terbesar dunia untuk kedelai. Selain konsumen energi, yang tergantung pada minyak impor untuk bahan bakar pertumbuhan ekonomi. Sedangkan India, di mana ratusan juta orang hidup dalam kemiskinan, juga telah menyatakan keprihatinan atas kenaikan harga pangan.
"Peraturan pasar derivatif untuk komoditas yang sesuai, diperkuat untuk mencegah kemampuan aktivitas membuat pasar tidak stabil," ungkap dokumen tersebut.
Harga jagung, kopi dan kapas telah naik dua kali lipat di pasar komoditas berjangka global tahun lalu, sementara harga minyak mentah naik hingga 42% di London. Harga gandum berjangka di Chicago naik menjadi US$ 8,60 per bushel hingga 31 Desember, naik 31% dari level terendah broker tahun ini. Demikian ungkap broker OTCex Group, yang berbasis di Paris. Jagung bisa mencapai rekor US$ 10 per bushel, Alex Bos, analis pada Macquarie Group Ltd mengatakannya pada 6 April.
Tahun ini China diperkirakan mengimpor 57 juta ton kedelai, atau hampir 60% dari perdagangan global untuk pakan ternak dan bahan dasar tahu.
Komunike BRICs menyerukan kerjasama yang lebih besar pada ketahanan pangan untuk memperbaiki kurangnya informasi yang tepat waktu dan dapat diandalkan atas penawaran dan permintaan.
Masyarakat internasional perlu bekerja sama meningkatkan produksi, pendanaan dan dukungan teknologi untuk negara-negara berkembang sebagai bagian dari membangun dunia yang lebih adil dan adil. [ast]

ekonomi.inilah.com

Tidak ada komentar: