Meski belum dipastikan, diketahui perubahan iklim berbanding lurus dengan ledakan populasi. Selain itu, rendahnya hasil pertanian secara drastis akan menyebabkan kelaparan.
Organisasi bantuan internasional Oxfam memperingatkan, rendahnya hasil tani secara drastis akan meningkatkan kemiskinan global dan kelaparan selama dua dekade mendatang. Oxfam memperkirakan, harga bahan makanan, seperti jagung dan beras akan terus meroket.
Kenaikan ini bisa mencapai 130-180% sebelum 2030. Di dunia tempat orang-orang miskin menghabiskan 80% pendapatan untuk makanan. Misalnya rata-rata orang Filipina, mereka menghabiskan empat kali lebih banyak pendapatannya dibanding orang rata-rata orang Inggris.
Bagi mereka, kelangkaan pangan dan kenaikan harga yang drastis akan mendorong dan memperbesar potensi makin banyaknya penduduk yang mengalami kelaparan. Dalam laporan terbaru Growing a Better Future, Oxfam mengatakan, merujuk tren saat ini, populasi dunia akan mencapai sembilan miliar pada pertengahan abad.
Sementara itu, tingkat pertumbuhan rata-rata hasil pertanian merosot hampir separuh sejak 1990. Jika terus dibiarkan, kesenjangan antara permintaan dan pasokan makanan akan terus melebar. “Sistem makanan harus diubah. Pada 2050, akan ada sembilan miliar orang di Bumi dan permintaan makanan akan meningkat 70%,” tulis penasihat senior iklim Oxfam Robert Bailey dalam laporannya.
Permintaan ini harus dipenuhi meski hasil tak meningkat, kelangkaan air meningkat, dan persaingan atas tanah juga meningkat, lanjutnya. “Pertanian harus cepat beradaptasi dengan perubahan iklim dan mulai mengurangi jejak karbon yang timbul,” paparnya.
Oxfam melaporkan, perubahan iklim telah mendorong kenaikan harga pangan di banyak daerah akibat kekeringan dan penggurunan. Selain itu, dari semua faktor yang berkontribusi pada meningkatnya harga pangan, faktor itu juga akan menciptakan dampak paling serius pada dekade mendatang.
“Dampak perubahan iklim pada harga pangan jelas terkait erat dengan dampak perubahan iklim pada produksi tanaman panen,” tulis Bailey. Hasil panen padi diperkirakan turun 10% tiap kenaikan satu derajat Celcius di suhu minimum musim kemarau.
Selain meningkatkan suhu global, perubahan iklim ‘akan meningkatkan frekuensi dan tingkat keparahan cuaca ekstrim seperti gelombang panas, kekeringan dan banjir yang mampu ‘menghapus’ panen dalam sekali terjangan,’ kata laporan itu.
Oxfam menyatakan, kemiskinan global didorong sistem yang rusak di mana negara-negara kaya memanfaatkan yang miskin. Untuk mengendalikan masalah ini, masyarakat internasional harus menangani ‘ketidakadilan yang mewabah pada sistem pangan mulai peternakan hingga pertanian’.
“Kita memproduksi lebih banyak makanan dari yang dibutuhkan. Di negara kaya, makanan ini banyak yang dibuang-buang. Di negara berkembang, hampir satu miliar orang tak mendapat mananan,” lanjutnya lagi.
Negara-negara industri harus mulai mengubah kebijakan utamanya untuk memperbaiki sistem yang rusak ini, imbuh Oxfam. Negara ini harus mengarahkan keringanan pajak pada inisiatif energi bersih dan memberi pajak pada emisi gas rumah kaca.
Selanjutnya, “Kita harus mengelola risiko yang ada dengan membuat sistem cadangan pangan, meningkatkan transparansi di pasar komoditas, menetapkan aturan pembatasan ekspor, dan mengakhiri perdagangan subsidi pertanian yang terdistorsi”.
Laporan baru ini merujuk pada perubahan yang harus dilakukan guna mengurangi kemiskinan global dan kelaparan. Di Brasil, aktivisme sosial menghasilkan kebijakan pertanian yang menurunkan sepertiga kelaparan di 2000-2007.
Vietnam berhasil mencapai hasil yang sebanding melalui reformasi tanah dan program investasi di bidang pertanian kecil (satu keluarga petani). “Untungnya, transformasi yang dibutuhkan sudah mulai berjalan dipimpin individu, organisasi dan gerakan yang memikirkan masa depan,” tutup laporan itu.
teknologi.inilah.com